Nama : Fatmawati Ramadhani
Nim : 2833133019
Kelas : Tasawuf Psikoterapi. 3.A
Tafsir Ayat-Ayat Sufistik
1. Al-Basyr, Al-Insan, An-nas
. Katakanlah: "Bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku bahwasanya Tuhan kamu adalah Tuhan yang Maha Esa, Maka tetaplah pada jalan yang Lurus menuju kepadanya dan mohonlah ampun kepadanya. dan kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukan-Nya,
Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya".
54. dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air lalu Dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah[1070] dan adalah Tuhanmu Maha Kuasa.
[1070] Mushaharah artinya hubungan kekeluargaan yang berasal dari perkawinan, seperti menantu, ipar, mertua dan sebagainya.
Dari beberapa ayat diatas kita dapat menarik kesimpulan bahwa dalam al-qur’an konsep manusia itu terpecah dalam tiga istilah yang sering disebut dengan al-basyr, al-insan dan an-nas. Sehingga dalam pengertia tersebut memiliki makna pengertian yang berbeda.
Yang Pertama, mengapa manusia disebut dengan istilah A-basyar, hal ini berkaitan dengan keterjebakan orang-orang kafir yang hanya melihat seorang Nabi hanya pada sisi kebutuhan biologisnya, sehingga dalam hal ini mereka berpandangan bahwa ajakan Nabi tidak mesti dipatuhi, karna mereka menganggap bahwa nabi juga berasal dari kalangan mereka, tanpa mereka tau dan mempertimbangkan aspek lain dari kehadiran seorang utusan Allah, misal kapasitas moral, kedirbilitas kepribadiannya dan lain-lainnya. Dari hal tersebutlah kemudian Allah menyuruh Nabi muhammad untuk menegaskan bahwa memang secara biologis beliau memang seperti manusia yang lain yang kemudian di pertegas dalam firman allah (QS.Al-Kahfi (18):110) serta dalam (QS.Fushsilat:(41):6). Yang kemudian dalam ayat ini di jelaskan bahwa nabi juga memiliki kebutuhan biologis yang sama dengan manusia secara umumnya, akan tetapi Nabi diberikan kelebihan khusus yang tidak dimiliki oleh manusia secara umumnya, yaitu nabi menerima wahyu dari Allah sedang manusia tidak.
Yang kedua, mengapa manusia disebut dengan istilah Al-insan, dalam konteks ini manusia diartikan sebagai makhluk yang istimewa, secara moral bahkan spiritual, yang pada dasarnya hanya dimiliki oleh manusia dan tidak dimiliki oleh makhluk yang lain. Adapun pendapat dari jalaludin Rahmat (1994), yang mengartikan secara luas Al-Insan pada 3 kategori: 1, Al-Insan yang dihubungkan dengan keistimewaan manusia sebagai Khalifah di bumi, keistimewaan ini diperjelas dalam al-qur’an yang memandang manusia sebagai makhluk unggulan atau puncak penciptaan Tuhan, dan keunggulan ini terletak pada wujud kejadiannya sebagai makhluk yang tercipta dengan kualitas “Ahsanu Taqwim” yaitu sebaik-baiknya penciptaan, ditunjukkan dalam (QS.At-Tin(95):4)
4. Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya .
(QS.Al_Mu’minun:12)
12. dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah.
2, manusia adalah satu-satunya makhluk yang dipercaya oleh Tuhan untuk mengemban amanah, karna tanggung jawabnya sebagai makhluk yang diberi mandat mengelola bumi.
3, Karena manusia memikul tugas berat sebagai khalifah dan pemegang amanah yang mana semua makhluk tidak bersedia, oleh karenanya manusia dibekali dengan seperangkat kemampuan untuk melaksanakan tugas tersebut.
Dan sebab itulah manusia memiliki akal yang kreatif, dan melalui akal kretifnyalah manusia diberi konsepsi, untuk memiliki, menemukan dan bahkan mengembangkan ilmu pengetahuan, sebab itulah menurut al-qur’an, manusia adalah makhluk yang deiberi ilmu.
Yang ketiga, mengapa manusia disebut dengan istilah An-nas, sebab dalam konteks ini An-nas mengacu pada manusia sebagai makhluk sosial. Dalam al-qur’an disebutkan dalam ayat
•• • • (QS.A-Baqoroh:165)
165. dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman Amat sangat cintanya kepada Allah. dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu[106] mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah Amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).
[106] Yang dimaksud dengan orang yang zalim di sini ialah orang-orang yang menyembah selain Allah.
Adapun ayat al-qur’an yang mengatakan bahwa manusia hidup dengan bersosialisasi atau bermasyarakat.
•• • •
13. Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
Dilihat dari konteks ayat diatas, jelas terlihat bahwa Allah menciptakan manusia di bumi dengan kelompok-kelompok, ada beberapa kelompok yang menyembah dan mencintai Allah, adapun sebaliknya. Semua itu didasarkan atas karna Allah ingin manusia satu dan yang lainnya saling mengenal dan menghargai antara kelompok atu dan yang lain. Dan kelompok yang paling mulia diantara mereka adalah mereka-mereka yang paling bertaqwa kepada-Nya.
2. An-Nafs
Nafs dalam khazanah islam memiliki banyak pengertian. Nafs dapat berarti jiwa atau nyawa. Sifat yang ada didalam nafs merupakan suatu potensi dan dapat diaktualisasi apabila diupayakan. Setiap komponen yang ada memiliki daya2 laten yang menggerakkan tingkah laku manusia. Aktualisasi nafs membentuk kepribadian yang perkembangannya bisa dipengaruhi faktor internal dan eksternal.
Menurut Imam Ghazali nafs adalah gabungan kekuatan amarah dan nafsu syahwat pada manusia. Pengertian nafs yang kedua ialah lathifah(halus). Inilah hakikat manusia yang membedakannya dari nafs.
Tingkat nafs:
1. Nafs Ammarah
Meninggalkan, tantangan, tunduk kepada dorongan-dorongan setan atau keinginan-keinginan biologis yang dilarang agama.
• • • •
53. dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.
2. Nafsu Lawwamah
Nafsu ini terkadang menjadi sumber penyesatan karena terkadang ia patuh dengan akal kadang tidak. Nafsu ini juga mencaci pemiliknya apabila ia teledor dalam beribdah.(Qs.Al-Qiyamah:3)
•
2. dan aku bersumpah dengan jiwa yang Amat menyesali (dirinya sendiri)[1530].
[1530] Maksudnya: bila ia berbuat kebaikan ia juga menyesal kenapa ia tidak berbuat lebih banyak, apalagi kalau ia berbuat kejahatan.
3. Nafsu Muthmainnah (tenang)
Dibawah perintah dan jauh dari goncangan karena menentang hawa nafsu.
• • •
27. Hai jiwa yang tenang.
28. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.
3. AKAL
1. Konsep akal menurut para sufi.
Menurut kaum sufi, adalah semacam instink yang tidak dapat diketahui kecuali dengan aktifitasnya didalam hati dan anggota badan. Tidak ada seorang pun yang dapat menggambarkan dalam jiwanya atau selain di jiwanya kecuali melalui perbuatan-perbuatan akalnya. Tidak pula dapat digambarkan sebagai ciri-ciri struktur fisik. Semisalnya : panjang, lebar dalam penciuman, warna dan suara dan tidak pula dapat dikenal kecuali melalui aktifitas-aktifitasnya. Hal tersebut karena akal tidak lain adalah cahaya yang dijadikan Allah SWT sebagai tabiat sekaligus instink. Jadi akal adalah cahaya yang ada didalam hati. Akal dalam konteks isntink melahirkan manusia. Dimana secara umum akal seperti ini dimiliki oleh anak adam, mereka berbeda-beda menurut bentuk jasmaninya.
Dalam hubungan itu, al Muhasibi berkata : dan setiap yang dapat diraba, dikecap atau dicium, maka penciptaan ini disebut dengan akal, sedangkan pelakunya disebut aqil (yang berakal). Argumentasi al-Muhasibi itu didasarkan pada riwayat pada penafsiran firman Allah SWT pada Musa a.s. dalam ayat :
13. dan aku telah memilih kamu, Maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan (kepadamu). (QS. Thaha: 13). Maksud dari ayat ini adalah :”gunakanlah akal atas apa yang aku (Allah) katakan kepadamu (Musa).
Kaum sufi menghimpun ejaan (istilah) itu dengan berpandangan bahwa “pemahaman bayan” adalah sisi luar akal yang didalamnya berserikat kalangan ahli akal instink yang diciptakan Allah SWT kepada mereka, yaitu mereka yang mendapat petunjuk, kesesatan, ahli kitab, termasuk di dalamnya adalah adalah ahli iman dan sesat dan taat dan maksiat dalam persoalan-persoalan dunia khususnya.
Kemudian kaum sufi berusaha menghubungkan teori mereka dengan Al-quran al Karim, seperti beberapa ayat berikut yang menjelaskan celaan Allah SWT atas ahli kitab:
75. Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, Padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui?[65]. (QS. Al Baqarah :75).
[65] Yang dimaksud ialah nenek-moyang mereka yang menyimpan Taurat, lalu Taurat itu dirobah-robah mereka; di antaranya sifat-sifat Nabi Muhammad s.a.w. yang tersebut dalam Taurat itu.
• •
146. orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al kitab (Taurat dan Injil) Mengenal Muhammad seperti mereka Mengenal anak-anaknya sendiri[97]. dan Sesungguhnya sebahagian diantara mereka Menyembunyikan kebenaran, Padahal mereka mengetahui. (QS. Al Baqarah : 146).
[97] Mengenal Muhammad s.a.w. Yaitu Mengenal sifat-sifatnya sebagai yang tersebut dalam Taurat dan Injil.
Pemahaman statemen logis (fahm al-Bayan) itu dikalangan sufi disebut dengan akal, karena “ia menjadi ada dan berasal dari akal kaum sufi lalu menyinggung satu fenomena pokok sebagai bagian dari beragam fenomena akal instink, yaitu Istidlal (konklusi), seandainya tidak ada konklusi sebagai gerak aqliyah niscaya kita tidak dapat mengetahui bahwa disana terdapat akal. Dan manusia belajar nama-nama segala sesuatu, lalu didalamnya terjadi perbedaan konklusi berdasarkan atas apa yang dipelajarinya. Jadi proses konklusi adalah proses aqliyyah lahiriah yang mengindikasikan bahwa dibalik proses ini tempat akal instink batiniah.
Akal dibagi menjadi dua macam, pertama akal yang mengetahui persoalan dunianya. Akal seperti ini berasal dari instink yang terdapat umumnya anak-anak adam a.s. kecuali seseorang yang didalamnya terdapat penyimpangan, misalnya :orang gila dan anak kecil. Pada mereka kadar akal instink ini memiliki perbedaan tingkatan. Kedua, akal yang mengetahui persoalan akhiratnya. Akal ini berasal dari cahaya hidayah dan kedekatan hubungan (dari Allah SWT) yang hanya dimiliki oleh orang-orang yang mengesakan Allah dan tidak dimiliki oleh orang yang menyekutukan Allah. Dan akal seperti ini memiliki tingkatan diantara kaum orang-orang yang mengesakan Allah SWT. Dikatakan akal yan juga berarti bersinar.
Konsep yang ditawarkan kaum sufi seputar akal di atas merupakan sesuatu yang baru karena bersumber dari al Quran al-Karim. Mereka memandang bahwa Allah SWT menyifati dalam kitab Nya bagi orang-orang seperti ini uqul (kaum yang berakal). Perhatikan beberapa ayat berikut :
•
47. dan mereka meminta kepadamu agar azab itu disegerakan, Padahal Allah sekali-kali tidak akan menyalahi janji-Nya. Sesungguhnya sehari disisi Tuhanmu adalah seperti seribu menurut perhitunganmu. (QS. Al Hajj: 47).
Lalu sebagian kaum kafir golongan ahli kitab dinamakan kaum berakal dalam konteks keharusan adanya argumentasi bagi mereka, seperti dalam firmanNya :
75. Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, Padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui?[65]. (QS. Al Baqarah : 75).
[65] Yang dimaksud ialah nenek-moyang mereka yang menyimpan Taurat, lalu Taurat itu dirobah-robah mereka; di antaranya sifat-sifat Nabi Muhammad s.a.w. yang tersebut dalam Taurat itu.
Mereka yang memiliki akal fitrah (seperti yang tersebut dalam ayat diatas), melihat, mendengar dan memahami persoalan dunia. Ini tidak dimaksudkan bahwa mereka benar-benar tuli dan tidak mendengar suara sekitar. Yang menyebabkan mereka disiksa adalah karena mereka berakal (tetapi tidak menggunakkan dengan benar).
Al harits meriwayatkan pendapat al hasan Al Basri tentang tafsir ayat diatas sebagai berikut : dapat dipastikan bahwa berita (ayat-ayat) telah sampai kepada salah seorang mereka melalui ilmu, seperti pengetahuan tentang mata uang dirham di atas telapak tangan mereka dan dia tidak memperbaiki dengan cara shalat.
4. Al-Qalb
Qalb disini dimaksud berupa anggota khusus yang berada dalam tubuh manusia yang memompa aliran darah, atau sebagai kelembutan robbaniah ruhaniah. Sehingga qalb dalam makna ini adalah manusia. Dialah yang menyerap, menangkap, dan memiliki pemahaman dalam diri manusia.(QS.Albaqoroh:225)
225. Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun[140].
[140] Halim berarti penyantun, tidak segera menyiksa orang yang berbuat dosa.
Qalb hanya menampung hal-hal yang disadari, dan keputusan yang diambil oleh qalb berimplikasi pahala dan dosa. Qalb dapat merasa kecewa dan kesal. (Qs.Az-Zumar:45)
•
45. dan apabila hanya nama Allah saja disebut, kesallah hati orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat; dan apabila nama sembahan-sembahan selain Allah yang disebut, tiba-tiba mereka bergirang hati.
5. Ar-Ruh
Menuurt Ibnu Zakariyah, kata al Ruh mempunyai arti luas dan asli. Yang mana dari makna tersebut mengisyaratkan bahwa al-ruh merupakan sesuatu yang agung, besar dn mulia, baik nilai maupun kedudukannya dalam diri manusia.
Nyawa(Ruh) menurut al-Ghazali mengandung dua pengertian pertama: tubuh halus(jisim latif), sumbernya itu lubang hati yang bertubuh. Lalu bertebar dengan perantaraan urat-urat yang memanjang ke segala bagian tubuh yang lain. Pengertian yang kedua yaitu yang halus dari manusia, yang mengetahui dan yang merasa. Kata al-ruh disebutkan dalam al-qur’an sebanyak 24 kali, masing-masing terdapat dalam 19 surat yang tersebar dalam 21 ayat. Dalam 3 ayat kata al-ruh berarti pertolongan atau rahmat allah, dalam 11 ayat berarti jibril, dan dalam ayat 1 ayat bermakna wahyu atau al-qur’an dalam 5 ayat lain al-ruh berhubungan dengan aspek atau dimensi psikis manusia.
6. Al-Fitrah
Dalam al-Qur'an kata fitrah disebutkan sebanyak 20 kali, terdapat dalam 17 surat dan dalam 19 ayat, muncul dengan berbagai bentuknya. Ada dalam bentuk madhi, fiil mudhari, isim fail, isim maful dan isim mashdar. Dalam bentuk fi'il madi sebanyak 9 kali, dimana fitrah berarti menciptakan, menjadikan. Kemudian dalam bentuk fi'il mudari' sebanyak 2 kali, yang berarti pecah, terbelah. Dalam bentuk isim fa'il sebanyak 6 kali yang berarti menciptakan, yang menjadikan. Dalam bentuk isim maf'ul sebanyak 1 kali yang berarti pecah, terbelah. Dan dalam bentuk isim maşdar sebanyak 2 kali yang berarti tidak seimbang. Dari 20 kali penyebutan kata fitrah ini hanya satu ayat yang menunjukkan bentuk fitrah secara jelas, yaitu dalam surat al-Rûm ayat 30. Kata fitrah dalam ayat ini mempunyai beberapa arti. Dalam kamus Al-Munawwir, kata fitrah diartikan dengan naluri (pembawaan).(Qs.Ar-rum:30)
•• ••
30. Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui[1168],
[1168] Fitrah Allah: Maksudnya ciptaan Allah. manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama Yaitu agama tauhid. kalau ada manusia tidak beragama tauhid, Maka hal itu tidaklah wajar. mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantara pengaruh lingkungan.
sebagaimana tersebut di atas, maka secara umum makna fitrah bermacam-macam, di antaranya adalah: fitrah dalam artian kejadian awal, bentuk awal, kemampuan dasar, potensi dasar, suci, agama, ciptaan, dan perangai. Fitrah hanya diperuntukkan bagi manusia. Sedangkan bagi binatang, fitrah sama dengan naluri atau tabi'at.
Sedangkan Ibnu Taymiyah sebagaimana dikutip oleh Muhaimin dan Abul Mujib menjelaskan pembagian fitrah manusia menjadi dua macam, yaitu:
1. Fitrah al-Munāzzalah, yaitu fitrah luar yang masuk pada diri manusia. Fitrah ini berupa petunjuk al-Qur’an dan al-Sunnah yang digunakan sebagai kendali dan pembimbing bagi fitrah al-Garīzah.
2. Fitrah al-Garīzah, yaitu fiţrah inheren dalam diri manusia yang memberi daya akal, yang berguna untuk mengembangkan potensi dasar manusia.
7. Al-Abd
Manusia sebagai mahluk yang berdimensional memiliki peran dan kedudukan yang sangat mulia. Kedudukan manusia yang paling utama adalah sebagai Abdullah yang artinya sebagai Hamba Allah. Oleh karena itu, sebagai hamba Allah maka manusia harus menuruti kemauan Allah, yang tidak boleh membangkan kepada-Nya. Dalam hal ini, manusia mempunyai dua tugas yaitu: pertama ia harus beribadah kepada Allah baik dalam pengertian sempit (sholat, puasa, haji, dsb.) maupun luas (melaksanakan semua aktifitas baik dalam hubungan dengan secara vertikal kepada Allah SWT maupun bermuamalah dengan sesama manusia untuk memperoleh keridoan Allah sesuai dengan ketentuan-ketentuan Allah SWT dan Hadist).
1. Manusia sebagai Makhluk
Keberadaan manusia di alam semesta ini bukan karena sendirinya, akan tetapi karena rancangan, disain, proses penciptaan dari Allah swt. Keberadaan manusia sebagai hasil ciptaan Allah swt, menyadarkan akan hakekat makhluk yang lemah, bodoh, dan fakir.
2. Makhluk termulia (Al-Israa':70)
Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. (QS. 17:70)
3. Makhluk yang paling indah bentuk kejadiannya.
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. (QS. 95:4).
4. Makhluk yang diberikan kebebasan memilih dan bisa membedakan antara yang baik dan yang buruk.
“…dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaan, sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS. 91:7-10)
1. Makhluk yang diberi kemampuan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan dan dibekali dengan alat-alat yang mendukungnya dalam meraih iptek itu: “Bacalah dengan (menyebut) nama Rabbmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dengan segumpal darah. Bacalah, dan Rabbmulah Yang Paling Pemurah,” (QS. 96:1-3).
2. Manusia Dimuliakan dan Diberikan Potensi
3. Fitrah
8. At-taubah
Kata "at-taubah" –dengan fathah pada ta' dan sukun pada wau– diambil dari kata "taub" yang terdiri dari huruf ta'-wau-ba'. Sebuah kata yang bermakna "kembali". Dikatakan ta-ba dan a-na-ba ketika seseorang kembali dari dosanya.1 Taubat adalah kembali kepada Allah, dengan memutuskan keinginan berbuat dosa dari dalam hati. Taubat adalah kembali (kepada Allah) dari berbuat dosa. Dalam bahasa Arab dikatakan "tâba ilâ Allâhi yatûbu tauban wa taubatan wa matâban" yang artinya kembali kepada Allah dari berbuat maksiat. Dikatakan dalam bahasa Arab "tâba al-‘abdu" yang artinya kembali kepada Allah dengan bertaubat. Dan, "tâba Allâhu ‘alaihi” yang artinya Allah memberi ampunan kepada hamba-Nya. Allah berfirman dalam surat an-Nûr ayat 31:
Maksudnya adalah kembalilah kepada-Nya dengan ketaatan. Dan, di antara asma Allah Yang Mulia adalah At-Tawwâb atau Maha Pengampun. Kata "taub" dan "taubah" mempunyai satu makna, yaitu meninggalkan dosa dengan sebaik-baik cara.
9. Az-zuhud
Masalah zuhud telah disebutkan dalam beberapa ayat dan hadits. Di antara ayat yang menyebutkan masalah zuhud adalah firman Allah Ta’ala tentang orang mukmin di kalangan keluarga Fir’aun yang mengatakan,
16. tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi.
17. sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.
Zuhud adalah yakin bahwa apa yang ada di sisi Allah itu lebih diharap-harap dari apa yang ada di sisinya. Ini tentu saja dibangun di atas rasa yakin yang kokoh pada Allah. Oleh karena itu, Al Hasan Al Bashri menyatakan, “Yang menunjukkan lemahnya keyakinanmu, apa yang ada di sisimu (berupa harta dan lainnya –pen) lebih engkau harap dari apa yang ada di sisi Allah.” Di antara bentuk zuhud adalah jika seorang hamba ditimpa musibah dalam hal dunia berupa hilangnya harta, anak atau selainnya, maka ia lebih mengharap pahala dari musibah tersebut daripada dunia tadi tetap ada. Ini tentu saja dibangun di atas rasa yakin yang sempurna.
Zuhud adalah keadaan seseorang ketika dipuji atau pun dicela dalam kebenaran itu sama saja. Inilah tanda seseorang begitu zuhud pada dunia, menganggap dunia hanya suatu yang rendahan saja, ia pun sedikit berharap dengan keistimewaan dunia. Sedangkan seseorang yang menganggap dunia begitu luar biasa, ia begitu mencari pujian dan benci pada celaan. Orang yang kondisinya sama ketika dipuji dan dicela dalam kebenaran, ini menunjukkan bahwa hatinya tidak mengistimewakan satu pun makhluk. Yang ia cinta adalah kebenaran dan yang ia cari adalah ridho Ar Rahman.
10. Al-huub
Mahabbah berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabbatan, yang secara harfiah berarti mencintai secara mendalam. Dalam mu’jam al-falsafi, jamil shabila mengatakan mahabbah adalah lawan dari al-baghd, yakni cinta lawan dari benci. Dalam kajian tasawuf, mahabbah berarti mencintai Allah dan mengandung arti patuh kepada-Nya dan membenci sikap yang melawan kepada-Nya, mengosongkan hati dari segala-galanya, kecuali Allah SWT serta menyerahkan seluruh diri kepada-nya. Al Junaidi Al Baghdadi menyebutkan, mahabbah itu sebagai suatu kecenderungan hati, artinya, hati seseorang cenderung kepada Allah SWT dan kepada segala sesuatu yang datang daripada- Nya tanpa usaha.
Dasar Mahabbah, Banyak sekali yang mendasari paham mahhabbah baik itu dari Al-Qur’an, hadis maupun dari sahabat dan ulama. Untuk itu mari kita perhatikan sebagai berikut:
•
“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu’min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui” (Q.S. Al Maidah 5 : 54)
Sabda Rasulullah SAW, Diriwayatkan oleh Abu Hurayrah bahwa Rasulullah SAW telah bersabda, “Barangsiapa yang senang bertemu dengan Allah, maka Allah akan senang bertemu dengannya. Dan barangsiapa yang tidak senang bertemu dengan Allah, maka Allah pun tidak akan senang bertemu dengannya” (H.R. Bukhari).
Tingkatan Mahabbah, Abu Nasr as Sarraj at-Tusi seorang tokoh sufi terkenal membagi mahabbah kepada tiga tingkat:(1) Mahabbah orang biasa, yaitu orang yang selalu mengingat Allah SWT dengan zikir dan memperoleh kesenangan dalam berdialog dengan-Nya serta senantiasa memuji-Nya, (2) Mahabbah orang siddik (orang jujur, orang benar) yaitu orang yang mengenal Allah tentang kebesaran-Nya, kekuasaan-Nya dan ilmu-Nya. Mahabbah orang siddik ini dapat menghilangkan hijab, sehingga dia menjadi kasysyaf, terbuka tabir yang memisahkan diri seseorang dari Allah SWT. Mahabbah tingkat kedua ini sanggup menghilangkan kehendak dan sifatnya sendiri, sebab hatinya penuh dengan rindu dan cinta kepada Allah, (3) Mahabbah orang arif, yaitu cintanya orang yang telah penuh sempurna makrifatnya dengan Allah SWT. Mahabbah orang arif ini, yang dilihat dan dirasakannya bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai. Pada akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk ke dalam diri yang mencintai. Cinta pada tingkat ketiga inilah yang menyebabkan mahabbah orang arif ini dapat berdialog dan menyatu dengan kehendak Allah SWT.
11. Asy-Syukur
Banyak ayat Al-Quran dan hadits yang berbicara tentang syukur. Ada yang menjelaskan hakikat syukur, perintah bersyukur, manfaat bersyukur, alasan bersyukur, balasan bagi yang bersyukur, dan ancaman bagi yang tidak bersyukur. Berikut ini ayat-ayat Al-Quran dan hadits yang menerangkan tentang syukur dalam berbagai aspeknya. Semoga bisa jadi renungan buat kita semua.
Perintah Bersyukur
172. Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah.
17. Sesungguhnya apa yang kamu sembah selain Allah itu adalah berhala, dan kamu membuat dusta[1146]. Sesungguhnya yang kamu sembah selain Allah itu tidak mampu memberikan rezki kepadamu; Maka mintalah rezki itu di sisi Allah, dan sembahlah Dia dan bersyukurlah kepada-Nya. hanya kepada- Nyalah kamu akan dikembalikan.
[1146] Maksudnya: mereka menyatakan bahwa berhala-berhala itu dapat memberi syafaat kepada mereka disisi Allah dan ini adalah dusta.
Hakikat Syukur
Kata “syukur” adalah kata yang berasal dari bahasa Arab. Dalam Al-Quran kata “syukur” dengan berbagai bentuknya ditemukan sebanyak enam puluh empat kali. Ar-Raghib Al-Isfahani salah seorang yang dikenal sebagai pakar bahasa Al-Quran menulis dalam Al-Mufradat fi Gharib Al-Quran, bahwa kata “syukur” mengandung arti “gambaran dalam benak tentang nikmat dan menampakkannya ke permukaan”. Kata ini dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai: (1) rasa terima kasih kepada Allah, dan (2) untunglah (menyatakan lega, senang, dan sebagainya).
Bagaimana Cara Bersyukur
Syukur tidak hanya dengan mengucapkan pujian bagi Allah (mengatakan Alhamdulillah), akan tetapi syukur adalah dengan hati, lidah, dan perbuatan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Qudamah r.a bahwa, “syukur (yang sebenarnya) adalah dengan menggunakan hati, lisan (lidah), dan dengan perbuatan anggota badan” [8].
a. Bersyukur Dengan Hati
Bersyukur dengan hati dilakukan dengan cara al-I’tiraf atau senantiasa menyadari, mengakui, mengingat dan menghadirkan dalam hati bahwa setiap nikmat yang kita rasakan tersebut dari Allah, dan bukan dari siapa pun. Allah lah, dengan kasih sayang-Nya, keutamaan dan kebaikan-Nya yang telah memberikannya kepada kita. Ingatlah, kapan pun saat hati kita merasakan hal itu, berarti hati kita sedang bersyukur kepada Allah.
b. Bersyukur Dengan Lidah
Bersyukur dengan lidah dapat dilakukan dengan at-Tahadduts, yang berarti menyampaikan atau menyebut-nyebut nikmat tersebut, memuji Allah (dengan mengucapkan Alhamdulillah), serta menisbatkan nikmat itu kepada Allah. Bukan malah merasa sombong dan berbangga diri dengan kenikmatan itu seolah semua itu hanyalah hasil jerih payah kita. Seperti dijelaskan dalam firman Allah dalam surat adh-Dhuha ayat 11 berikut:
وَ اَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّث
“dan terhadap nikmat Tuhanmu, Maka hendaklah kamu siarkan”.
c. Bersyukur dengan Perbuatan Anggota Badan
Bersyukur dengan perbuatatan anggota badan adalah syukur yang paling penting. Ia dilakukan dengan cara menggunakan semua nikmat tersebut dalam rangka membantu kita di dalam mentaati Allah (ath-Tha’ah). Kita pakai semua nikmat itu di jalan yang diridhoi oleh pemiliknya. Serta menahan diri agar jangan menggunakan kenikmatan itu untuk bermaksiat kepada-Nya.
Selain itu, Imam Ghazali menegaskan bersyukur kepada Allah swt atas nikmat yang telah diberikan dengan anggota tubuh meliputi tujuh anggota yang penting berikut [9]:
1. Mata, mensyukuri nikmat adanya mata dengan tidak menggunakannya untuk melihat hal-hal yang maksiat.
2. Telinga, digunakan hanya utnuk mendengarkan hal-hal yang baik yang boleh didengar.
3. Lidah, mensyukurinya dengan banyak mengucap zikir, puji-pujian kepada Allah swt., dan mengungkapkan nikmat-nikmat yang telah diberikan Allah sebagaimana firman-Nya dalam surat ad-Dhuha di atas.
4. Tangan, digunakan untuk melakukan kebaikan, baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, dan tidak menggunakannya utnuk hal-hal yang haram.
5. Perut, dipakai hanya untuk memakan makanan yang halal dan baik serta tidak berlebih-lebihan (mubadzir).
6. Kemaluan (seksual), untuki dipergunakan di jalan yang diridhai Allah (hanya bagi suami istri) dan disertai dengan niat memelihara diri dari perbuatan haram.
7. Kaki, digunakan untuk berjalan ke tempat-tempat yang baik, seperti pergi ke masjid, berhaji ke baitullah, mencari rezeki yang halal, dan menolong sesama umat manusia.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa bersyukur itu tidak hanya dengan memuji Allah (dengan mengucapkan lafaz “Alhamdulillah”) saja, akan tetapi bersyukur juga dilakukan dengan cara mengakuinya dalam hati bahwa nikmat itu berasal dari Allah serta menggunakan nikmat tersebut untuk mencari ridha Allah swt.
12. As-Sabr
Secara harfiah , sabar berasal dari kata shabara – Yashbiru - Shabran yang artinya menahan atau mengekang. Sabar adalah menahan diri dari bersikap, berbicara, dan bertingkah laku yang tidak dibenarkan oleh Allah swt. Dalam berbagai keadaan yang sulit, berat dan mencemaskan. Sabar juga bermakna ketabahan dalam menerima suatu kesulitan dan kepahitan, baik secara jasmani seperti menanggung beban dengan badan berupa beratnya suatu pekerjaan, sakit, dan sebagainya, juga sabar secara rohani seperti menahan keinginan yang tidak benar.
Menurut Dzun Nun Al-Mishri, yang di maksud sabar adalah menjahui hal-hal yang bertentangan, bersikap tenang ketika menelan pahitnya cobaan, dan menampakan sikap kaya dengan menembunyikan kekafiran di medan penghidupan, menurut ibnu Atha’, yang dimaksud sabar ialah tertimpa cobaan dengan tetap berperilaku yang baik. Menurut sebagian ulama, yang di maksud sabar adalah tertimpa cobaan dengan tetap bersikap baik dalam pergaulan sebagaiman keadaan sehat. Sabar merupakan sesuatu yang amat penting untuk dimiliki oleh setiap muslim, bahkan ini merupakan sesuatu yang harus diutamakan, karena begitu banyak ujian dan tantangan hidup yang senuanya itu harus dihadapi dengan kesabaran. Allah swt. Berfirman :
•
“ Kamu pasti akan diuji dengan hartamu dan dirimu. Dan pasti kamu akan mendengar banyak hal yang sangat menyakitkan hati dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan orang-orang musyrik. Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang (patut) diutamakan. “ (Ali-Imran : 186)
Macam-Macam Sabar
Seorang ulama kondang abad ini, Shaikh Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya ash-Shabr fi al-Qur’an membagi sabar kedalam enam macam, yaitu :
1. Sabar menerima cobaan hidup. Cobaan seperti ini bersifat alami, tak ada satu manusiapun yang dapat menghindarinya. Oleh karena itu, kita harus dapat menerimannya dengan penuh kesabaran.
2. Sabar dari keinginan hawa nafsu. Hawa nafsu mempunyai kecenderungan untuk menginginkan segala macam kenikmatan hidup, kesenangan dan kemegahan di dunia. Untuk mengendalikanya di perlukan kesabaran, al-Quran bahkan mengingatkan kita agar jangan sampai harta benda membuat kita lali dari mengingat Allah.
3. Sabar dalam taat kepada Allah SWT. Di perlukan kesabaran dalam beribadah, karena setan tak pernah berhenti menggoda hamba-Nya yang taat melaksanakan perintah-Nya.
4. Sabar dalam berdakwah. Lukman hakim menasehati putranya agar tetap bersabar menerima cobaan ketika berdakwah.
5. Sabar dalam perang. Dalam keadaan terdesak seorang prajurit Isalam tidak boleh lari meninggalkan medan perang, kecuali apabila itu bagiaan dari siasat perang. Sebab diantara sifat-sifat orang yang bertaqwa dalah sabar dalam peperangan.
6. Sabar dalam pergaulan. Dalam pergaulan adakalanya kita tersinggung ketika mendengar atau mendapat perlakuan kurang menyenangkan dari orang lain. Namun, sebagai muslim kita diwajibkan untuk bersabar dalam menghadapinya, karena boleh terjadi hal itu ternyata akan mendatangkan.
13. Al-Ihsan
Ihsan adalah puncak ibadah dan akhlak yang senantiasa menjadi target seluruh hamba Allah swt. Sebab, ihsan menjadikan kita sosok yang mendapatkan kemuliaan dari-Nya. Sebaliknya, seorang hamba yang tidak mampu mencapai target ini akan kehilangan kesempatan yang sangat mahal untuk menduduki posisi terhormat di mata Allah swt. Rasulullah saw. pun sangat menaruh perhatian akan hal ini, sehingga seluruh ajaran-ajarannya mengarah kepada satu hal, yaitu mencapai ibadah yang sempurna dan akhlak yang mulia.
Oleh karenanya, seorang muslim hendaknya tidak memandang ihsan itu hanya sebatas akhlak yang utama saja, melainkan harus dipandang sebagai bagian dari akidah dan bagian terbesar dari keislamannya. Karena, Islam dibangun di atas tiga landasan utama, yaitu iman, Islam, dan ihsan, seperti yang telah diterangkan oleh Rasulullah saw. dalam haditsnya yang shahih. Hadist ini menceritakan saat Raulullah saw. menjawab pertanyaan Malaikat Jibril —yang menyamar sebagai seorang manusia— mengenai Islam, iman, dan ihsan. Setelah Jibril pergi, Rasulullah saw. bersabda kepada para sahabatnya, “Inilah Jibril yang datang mengajarkan kepada kalian urusan agama kalian.” Beliau menyebut ketiga hal di atas sebagai agama, dan bahkan Allah swt. memerintahkan untuk berbuat ihsan pada banyak tempat dalam Al-Qur`an.
•
“Dan berbuat baiklah kalian, karena sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Baqarah: 195)
Dalam Al-Qur`an, terdapat 166 ayat yang berbicara tentang ihsan dan implementasinya. Dari sini kita dapat menarik satu makna, betapa mulia dan agungnya perilaku dan sifat ini, hingga mendapat porsi yang sangat istimewa dalam Al-Qur`an. Berikut ini beberapa ayat yang menjadi landasan akan hal ini. (QS. Al-Baqarah: 195)
Rasulullah saw. pun sangat memberi perhatian terhadap masalah ihsan ini. Sebab, ia merupakan puncak harapan dan perjuangan seorang hamba. Bahkan, di antara hadist-hadist mengenai ihsan tersebut, ada beberapa yang menjadi landasan utama dalam memahami agama ini. Rasulullah saw. menerangkan mengenai ihsan —ketika ia menjawab pertanyaan Malaikat Jibril tentang ihsan dimana jawaban tersebut dibenarkan oleh Jibril, dengan mengatakan, “Engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan apabila engkau tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR. Muslim)
Di kesempatan yang lain, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kebaikan pada segala sesuatu, maka jika kamu membunuh, bunuhlah dengan baik, dan jika kamu menyembelih, sembelihlah dengan baik.” (HR. Muslim)
Ihsan mempunyai landasan yaitu:
1. Landasan Qauli
“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan untuk berbuat Ihsan terhadap segala sesuatu” (HR. Muslim). Tuntutan untuk berbuat Ihsan dalam Islam yaitu secara maksimal dan optimal.
2. Landasan Kauny
Dengan melihat fenomena dalam kehidupan ini, secara sunnatulloh setiap orang suka akan berbuat yang Ihsan.
Alasan berbuat Ihsan:
a. Adanya monitoring Allah (muraqabatulloh)
b. Adanya kebaikan Allah (Ihsanulloh)
Dengan adanya muraqaabatulloh dan Ihsanulloh maka sudah selayaknya kita berihsanuniyat (berniat yang baik). Karena akan mengarahkan kita kepada:
a. Ikhlasunniyat (niat yang ikhlas)
b. Itqanul ‘amal (amal yang rapi)
c. Jaudatul adaa’ (penyelesaian yang baik)
Ihsan ini harus kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga jika kita berbuat baik, maka perbuatan itu selalu kita niatkan untuk Allah. Sebaliknya jika terbersit niat kita untuk berbuat keburukan, kita tidak mengerjakannya karena Ihsan tadi.
Orang yang ihsannya kuat akan rajin berbuat kebaikan karena dia berusaha membuat senang Allah yang selalu melihatnya. Sebaliknya dia malu berbuat kejahatan karena dia selalu yakin Allah melihat perbuatannya.
Ihsan dianalogkan sebagai atap bangunan Islam (rukun Iman adalah pondasi dan rukun Islam adalah bangunanya). Ihsan berfungsi sebagai pelindung bagi bangunan keIslaman seseorang. Jika seseorang berbuat Ihsan, maka amal-amal islam lainnya akan terpelihara dan tahan lama sesuai dengan fungsinya sebagai atap bangunan.
Dalil-dalil
• •
Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri, dan apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) yang kedua, (Kami datangkan orang-orang lain) untuk menyuramkan muka-muka kamu dan mereka masuk ke dalam mesjid, sebagaimana musuh-musuhmu memasukinya pada kali pertama dan untuk membinasakan sehabis-habisnya apa saja yang mereka kuasai.(QS. Surat al isra’ 7)
•
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS.Surat Al Qashash 77 ).